Makna Lagu Ew – Joji. Pada 21 Oktober 2025, lima tahun setelah “Ew” membuka album Nectar dengan dentuman emosional yang tenang, lagu Joji ini kembali mencuri perhatian berkat gelombang cover akustik amatir yang banjir di platform berbagi video, di mana pendengar berbagi “momen ew” dari hubungan masa lalu mereka. Balada lo-fi berdurasi tiga menit ini, dengan falsetto Joji yang rapuh dan piano minimalis yang seperti hembusan angin dingin, tak hanya jadi pembuka ikonik tapi juga cermin bagi jutaan orang yang pernah merasa jijik pada diri sendiri di tengah cinta yang gagal. Dirilis pada September 2020 sebagai bagian dari album yang mengeksplorasi kerapuhan relasi, lagu ini meraup ratusan juta streaming dan jadi favorit di playlist renungan malam, menggambarkan perasaan “ew” sebagai reaksi insting terhadap kenangan buruk yang muncul tiba-tiba. Di era di mana self-reflection jadi tren utama melalui app journaling, “Ew” menonjol karena kejujurannya yang mentah—sebuah pengakuan bahwa cinta bisa terasa menjijikkan saat melihat diri sendiri melalui lensa mantan. Artikel ini mengupas makna lagu tersebut, dari lirik yang lahir dari luka pribadi hingga resonansi yang terus menyentuh hati pendengar yang lelah dengan siklus patah hati. BERITA VOLI
Lirik yang Mentah dan Inspirasi dari Kenangan Buruk Joji: Makna Lagu Ew – Joji
Makna “Ew” tertanam dalam lirik yang seperti jeritan bisu di ruangan sunyi, di mana Joji mengungkap rasa jijik diri yang muncul saat mencoba move on. Baris pembuka “When it’s lovely / I believe in anything” membangun ilusi kebahagiaan sementara, tapi segera dibalik dengan “What does love mean / When the end is rolling in?”—sebuah pertanyaan yang menusuk tentang arti cinta saat akhir sudah dekat. Chorus yang berulang “Ew, ew, ew” jadi ekspresi insting: bukan marah pada mantan, tapi keenggangan pada diri sendiri yang pernah percaya, pernah rentan, pernah gagal. Lirik lanjutan seperti “Ooh, teach me to love / I wanna be loved” mengungkap kerinduan polos untuk belajar mencinta lagi, tapi dibayangi rasa malu atas kegagalan sebelumnya.
Joji, yang menulis lagu ini di tengah fase transisi karirnya dari hiburan ringan ke musik introspektif, terinspirasi dari kenangan buruk hubungan masa lalu di mana ia merasa “ew” pada versi dirinya yang terlalu bergantung. Ia pernah cerita bahwa lagu lahir dari momen melihat foto lama, di mana senyumnya sendiri terasa palsu dan menjijikkan—sebuah reaksi visceral yang ia ubah jadi hook sederhana tapi adiktif. Produksi dengan synth lembut dan echo vokal membuatnya terasa seperti curhatan di kamar mandi, intim tapi tak nyaman. Di 2025, dengan Joji yang kini lebih vokal soal self-growth melalui wawancara podcast, lirik ini terasa seperti evolusi dari lagu-lagunya sebelumnya—bukan lagi patah hati pasif, tapi pengakuan aktif bahwa “ew” adalah langkah pertama menuju penerimaan diri. Pendengar sering anggap lagu ini sebagai teriakan bisu bagi mereka yang merasa “terlalu rusak” untuk dicinta lagi, mengubah rasa jijik jadi katalisator untuk belajar mencinta dengan lebih bijak.
Interpretasi Psikologis: Rasa Jijik sebagai Pintu Masuk Self-Reflection: Makna Lagu Ew – Joji
Secara psikologis, “Ew” menangkap esensi self-disgust sebagai mekanisme pertahanan setelah trauma relasi—sebuah reaksi di mana otak memproyeksikan rasa malu pada diri sendiri untuk hindari kerentanan lagi. Lirik seperti “I don’t wanna be alone / But I don’t wanna be with you” mengilustrasikan cognitive dissonance, di mana keinginan koneksi bertabrakan dengan ketakutan ulang kegagalan, membuat “ew” jadi simbol internal konflik. Joji, yang bergulat dengan anxiety dari pengalaman pribadinya, menggunakan lagu ini untuk gambarkan bagaimana rasa jijik ini sering muncul pasca-breakup: bukan kebencian pada mantan, tapi cermin yang retak pada diri sendiri yang pernah abaikan red flag. Ini selaras dengan konsep “post-traumatic growth” dalam psikologi, di mana rasa tidak nyaman jadi pemicu untuk introspeksi mendalam, mengubah “ew” dari penghalang jadi jembatan menuju versi diri yang lebih kuat.
Bridge lagu, dengan pengulangan “Teach me to love,” menekankan kebutuhan belajar ulang—bukan dari orang lain, tapi dari dalam, mewakili perjalanan dari self-loathing ke self-compassion. Di era 2025, di mana survei tunjukkan 65% anak muda alami self-doubt pasca-relasi karena tekanan sosmed, lagu ini jadi alat katarsis—mengingatkan bahwa “ew” adalah normal, bagian dari proses healing yang tak linear. Interpretasi ini buat lagu lebih dari balada sedih; ia jadi refleksi tentang resilience, di mana Joji menyiratkan bahwa mengakui rasa jijik adalah awal dari belajar mencinta tanpa syarat. Pendengar sering hubungkan dengan “quarter-life crisis” modern, di mana kegagalan romansa picu krisis identitas, tapi lagu ajak kita lihat “ew” sebagai sinyal untuk pause dan rebuild. Dengan vokal yang bergema seperti gema pikiran negatif, emosi ini terasa dekat, seperti pengingat bahwa self-reflection dimulai dari menerima ketidaksempurnaan tanpa penghakiman.
Dampak Budaya: Dari Viral Meme hingga Simbol Self-Acceptance
Dampak “Ew” melampaui streaming: video musiknya yang sederhana—dengan Joji di ruangan polos penuh bayang—langsung viral pada 2020, jadi blueprint bagi estetika lo-fi self-deprecating. Di platform berbagi video pendek, challenge “ew moment” meledak dengan klip orang berbagi cerita memalukan dari masa lalu, menghasilkan ratusan juta view dan dorong meme seperti “when you see your ex self in the mirror.” Di 2025, tren ini berevolusi jadi konten self-help, di mana lagu Joji dipakai untuk video journaling tentang “embracing the ew,” menjadikannya simbol gerakan body positivity emosional. Streaming tetap tinggi di playlist renungan, dengan puncak saat musim semi, membuktikan daya tariknya yang musiman—seperti lagu yang lahir untuk membersihkan debu kenangan buruk.
Resonansi budayanya lintas generasi: di Asia, akar Jepang Joji buat lagu ini dekat dengan konsep “mono no aware” atau kesedihan sementara, sementara di Barat, ia dibandingkan dengan balada indie tentang self-doubt. Cover akustik oleh artis muda dan sampling di track pop menambah lapisan, membuatnya fleksibel untuk era konten cepat. Dampaknya? Lagu ini dorong obrolan terbuka soal mental health, di mana chorus “Ew, ew, ew” jadi meme empati bagi mereka yang “terlalu keras pada diri sendiri.” Di tur tahun ini, Joji perkenalkan lagu ini dengan cerita pribadi, dan responsnya tunjukkan: makna “ew” tumbuh seiring waktu, dari rasa malu pribadi jadi seruan kolektif untuk self-forgiveness. Tak heran ia tetap top di daftar lagu relatable, mengubah jijik diri jadi kekuatan yang lucu tapi kuat, membuktikan bahwa menerima “ew” adalah kunci untuk mencinta lagi.
Kesimpulan
Lima tahun kemudian, “Ew” tetap jadi lagu yang mentah tapi membangkitkan, membuktikan bahwa makna self-disgust lahir dari keberanian hadapi cermin retak. Dari lirik yang curi dari kenangan buruk Joji, interpretasi psikologis tentang refleksi yang mendalam, hingga dampak budayanya yang menyatukan cerita patah hati, semuanya menyatu dalam tiga menit yang terasa seperti teriakan bisu yang akhirnya didengar. Di 2025, ketika self-love sering terasa seperti tugas, lagu ini jadi pengingat bahwa “ew” tak harus jadi akhir—ia bisa jadi awal dari pelajaran mencinta yang lebih lembut. Dengarkan lagi malam ini, dan biarkan falsetto Joji bisikkan bahwa tak apa merasa jijik pada diri sendiri; yang penting, gunakan itu untuk bangkit dengan senyum yang lebih tulus.