Makna Lagu Mardua Holong – Lagu Khas Batak. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, lagu-lagu tradisional sering jadi pelarian yang hangat, mengingatkan kita pada akar budaya. Salah satunya adalah “Mardua Holong”, lagu khas Batak yang tak lekang oleh waktu. Lagu ini, yang berasal dari tanah Sumatera Utara, bukan sekadar irama gembira dengan gondang Batak yang menggelegar; ia sarat makna lagu filosofis tentang kehidupan suku Batak Toba. Komposer legendaris seperti S. Sirait atau OP. Simanjuntak sering dikaitkan dengan penciptaannya, meski akarnya mungkin lebih dalam ke tradisi lisan. Pada 2025, lagu ini kembali viral di platform seperti TikTok, di mana generasi Z Batak remiksnya dengan beat EDM, tapi esensinya tetap: pesan tentang keseimbangan hidup. Artikel ini kupas makna “Mardua Holong” secara sederhana, dari lirik hingga dampaknya di era digital, agar kita pahami mengapa lagu ini terus hidup sebagai jantung identitas Batak.

Asal-Usul Lagu Mardua Holong

“Mardua Holong” bukan lahir dari studio rekaman mewah, melainkan dari desa-desa di sekitar Danau Toba, mungkin sejak awal abad ke-20. Nama “Mardua Holong” secara harfiah berarti “dua burung” dalam bahasa Batak Toba, merujuk pada metafora burung yang bebas terbang—simbol jiwa yang merdeka tapi tetap terikat pada sarangnya. Lagu ini bagian dari repertoar gondang, alat musik tradisional Batak yang terdiri dari taganing (gendang) dan sarune (seruling), sering dimainkan di upacara adat seperti mangulosi (syukuran) atau pesta pernikahan.

Menurut catatan etnografi, lagu ini dipopulerkan oleh grup musik Batak seperti Glutera Sinaga pada 1970-an, tapi akarnya ada di himne Kristen yang disesuaikan dengan nilai Batak pasca-misionaris Jerman datang di akhir 1800-an. Batak, sebagai suku yang kuat memegang adat Dalihan Na Tolu (tiga tungku: boru, dongan tubu, dongan sahoma), masukkan elemen itu ke lirik: burung pertama wakili tanggung jawab keluarga, yang kedua kebebasan individu. Pada 2025, arsip digital dari Universitas HKBP Nommensen catat ratusan variasi lirik, tapi intinya tetap: harmoni antara ikatan sosial dan aspirasi pribadi. Ini yang bikin lagu ini timeless—bukan cuma hiburan, tapi pengingat identitas di tengah urbanisasi yang tarik banyak Batak ke kota besar seperti Medan atau Jakarta.

Makna Lirik Mardua Holong dan Simbolisme Budaya

Lirik “Mardua Holong” sederhana tapi dalam, dimulai dengan bait pembuka: “Mardua holong na mabiar, di auan na so marparangiang” (Dua burung yang indah, di langit yang tak terbatas). Di sini, “holong” bukan sekadar burung; ia simbol jiwa manusia Batak yang gigih, seperti burung enggang yang gagah di hutan Toba. Makna utamanya: hidup harus seimbang, seperti dua sayap yang saling melengkapi—satu untuk terbang tinggi (ambisi, pendidikan, karir), satu untuk kembali ke sarang (adat, keluarga, tanah air).

Filosofi Batak tertanam kuat: burung pertama gagal terbang karena terikat rantai (metafora kemiskinan atau adat kaku), sementara yang kedua bebas tapi kesepian. Pesan moralnya? Jangan lupakan akar saat mengejar mimpi, sesuai pepatah Batak “Horas ma au so marhobas” (hidup harus penuh semangat tapi bijak). Dalam konteks modern, ini relevan bagi diaspora Batak yang capai 5 juta jiwa di luar Sumut—mereka dengar lagu ini di gereja HKBP di Belanda atau pesta reunian di Sydney, sebagai pengingat jangan sampai “hilang Batak” di tengah globalisasi.

Simbolisme lain: irama lagu yang cepat di chorus wakili kegembiraan hidup, sementara verse lambat ingatkan kesedihan perpisahan. Ini mencerminkan dualitas Batak—suka pesta tapi hormati duka—seperti dalam tortor, tarian yang selalu pasang senyum meski cerita perjuangan. Pada 2025, peneliti budaya seperti Dr. Parningotan Siregar analisis lirik ini sebagai bentuk resistensi terhadap asimilasi, di mana lagu jadi alat pertahankan bahasa Batak yang kini hanya dikuasai 60% generasi muda.

Relevansi di Era Digital dan Pelestarian

Di 2025, “Mardua Holong” tak lagi terkurung di desa. Versi remix oleh DJ Batak seperti Andika Sinambela raih 10 juta views di YouTube, gabungkan gondang dengan synth pop untuk tarik anak muda. Festival Danau Toba yang digelar tiap Juni jadi panggung utama, di mana ribuan penonton nyanyi bareng, campur turis asing yang penasaran dengan harmoni vokal Batak. Tapi, tantangan pelestarian nyata: urbanisasi bikin generasi milenial kurang hafal lirik asli, hanya 40% menurut survei Komunitas Pemuda Batak Indonesia.

Upaya pelestarian canggih: app “Batak Heritage” yang scan lirik lagu via AI untuk terjemahan real-time, atau kolaborasi dengan Spotify yang buat playlist “Batak Classics” dengan 500 ribu pendengar bulanan. Lagu ini juga masuk kurikulum sekolah di Sumut, ajar anak soal nilai etis melalui cerita burung. Di diaspora, gereja-gereja Batak di Amerika gunakan lagu ini untuk khotbah tentang identitas, bantu imigran atasi homesickness. Relevansinya? Di dunia yang cepat berubah, “Mardua Holong” ajar keseimbangan—seperti dua burung yang terbang bersama, kita bisa maju tanpa tinggalkan warisan.

Kesimpulan

“Mardua Holong” lebih dari lagu; ia cermin jiwa Batak yang tangguh, simbol dua sisi hidup yang harus selaras: kebebasan dan keterikatan. Dari lirik puitis tentang burung bebas hingga irama yang gema di festival modern, lagu ini ingatkan kita pada kekayaan budaya yang tak tergantikan. Di 2025, saat globalisasi coba ratakan identitas, “Mardua Holong” jadi panggilan pulang—bagi Batak maupun siapa saja yang cari makna dalam kesederhanaan. Dengarkanlah, renungkan, dan biarkan pesannya terbang seperti holong itu: indah, bebas, tapi selalu kembali. Horas!

Baca Selengkapnya…